Panggilan Komisi Informasi kepada Kepolisian agar menjelaskan sejauh mana proses pengusutan kasus rekening gendut sejumlah pejabat polisi mestinya tak boleh diremehkan. Polisi harus bersedia membuka kasus ini. Apalagi rekening gendut itu tidak hanya menyangkut kemungkinan terjadinya korupsi, tapi juga telah mendorong terjadinya dua kasus kekerasan.
Dua kasus itu adalah, pertama, pelemparan bom molotov ke kantor majalah Tempo, media yang mengungkap ihwal rekening gendut ini dalam laporan investigasinya. Kedua, penganiayaan terhadap Tama S. Langkun, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) yang juga sedang menginvestigasi rekening-rekening jumbo tersebut. Sampai sekarang polisi belum juga berhasil mengungkap kedua insiden itu.
Panggilan oleh Komisi itu dilayangkan untuk merespons tuntutan ICW terhadap Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Sebelumnya, ICW menuntut agar polisi membuka kepada publik nama-nama pejabat polisi pemilik rekening jumbo beserta nilai rekeningnya, namun polisi menolak. Alasan polisi, investigasi internal mereka menyimpulkan rekening-rekening itu tidak bermasalah. Penolakan inilah yang digugat oleh ICW ke Komisi Informasi Publik.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Komisi Informasi Pusat adalah lembaga yang bisa memutuskan sengketa informasi. Komisi akan menilai apakah rekening mencurigakan itu masuk informasi publik atau tidak. Bila Komisi memutuskan bahwa nama-nama pemilik rekening gendut itu boleh dibuka, polisi harus mematuhinya.
ICW tentu punya alasan hukum yang kuat untuk menuntut pembukaan data. Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Keterbukaan Informasi menyebutkan, data rekening seseorang dapat dikategorikan informasi publik bila pemiliknya adalah pejabat publik. Apalagi jika jumlah uang di rekening itu mencurigakan. Pasal ini sebetulnya bisa mematahkan dalil polisi, yang menggunakan Pasal 6 dan Pasal 17 undang-undang yang sama. Dua pasal itu intinya menyatakan informasi mengenai rekening seseorang adalah rahasia pribadi.
Sulit menerima argumen bahwa rekening-rekening itu merupakan rahasia pribadi. Pemiliknya adalah pejabat polisi, yang jumlah gajinya tidak masuk akal untuk bisa memiliki rekening bernilai miliaran dalam waktu singkat. Bahkan, kalaupun uang itu sah–mungkin saja mereka memang kaya dari sononya, menerima warisan atau hibah–ini mesti dibuktikan secara terbuka, sebagaimana pejabat publik lain melaporkan nilai kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Tanpa pembukaan data, pembuktian bahwa rekening itu sah atau tidak, sulit dilakukan.
Sekarang bola ada di tangan Komisi untuk mengambil keputusan. Publik tentu berharap kasus rekening ini bisa dibuka seterang-terangnya. Dari sini akan terbuka pintu masuk untuk membersihkan institusi polisi.
Kepolisian pun mestinya tak perlu takut. Dengan membuka data, mereka bisa bebas dari tuduhan melindungi aparatnya yang diduga menyalahgunakan jabatan. Bukankah belum tentu pula para pejabat pemilik rekening itu bersalah? Menutup-nutupi data rekening justru akan mendorong publik yakin bahwa memang isi rekening itu uang haram.
Sumber dari sini.